Oleh: Suthon Sulaiman
Pagi yang cerah di Senin, 6 Oktober 2025, mengiringi pelaksanaan upacara bendera di MTsN 4 Denanyar Jombang, Kampus 2 Putri. Namun pagi itu berbeda—lebih bermakna, lebih menyentuh, dan penuh inspirasi. Di bawah benderanya yang berkibar, tidak hanya tertanam nilai disiplin dan nasionalisme, tetapi juga semangat perjuangan melawan kebodohan.
Bapak H. Moh. Yazid, pembina upacara yang dikenal dengan keteduhan dan ketegasannya, membawakan tema yang menyentuh relung jiwa: “Kalimat al-Tasyji’ (Motivasi) dalam Mencari Ilmu”. Sebuah pesan yang tepat di era di banyak anak muda lebih sibuk dengan gawai daripada guru, lebih memilih hiburan daripada ilmu.
Syuhada Ilmu: Refleksi dari Runtuhnya Musholla Al-Khozini
Dengan suara bergetar penuh haru, Bapak Yazid membuka refleksi tentang tragedi runtuhnya musholla Pondok Pesantren Al-Khozini Buduran Sidoarjo. “45 santri meninggal dunia, sekitar 20 lainnya masih dalam proses evakuasi,” ujarnya mengutip kabar terbaru.
“Peristiwa ini bukan hanya duka, tetapi juga ujian kesabaran, keikhlasan, dan keridaan bagi seluruh santri dan wali santri di bulan santri tahun ini,” lanjutnya.
Namun dari tragedi ini, beliau mengajak kita melihat dari sudut pandang yang lebih dalam. “Mereka gugur sebagai syuhada ilmu, karena wafat di tengah perjuangan mencari ilmu,” tegasnya. Sebuah perspektif yang mengubah duka menjadi kekuatan, mengubah kepergian menjadi inspirasi.
Landasan Ilahi: Ayat dan Hadis tentang Keutamaan Menuntut Ilmu
Dalam sambutannya, Bapak Yazid menguatkan semangat para siswi dengan merujuk langsung kepada sumber Islam—Al-Qur’an dan Hadis. Beliau mengutip Surat At-Taubah ayat 122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
“Orang yang menuntut ilmu (tafaqquh fid-din) memiliki kedudukan yang sejajar dengan mereka yang berjihad di jalan Allah,” penjelasannya tegas. Dalam konteks kekinian, ini berarti bahwa para santri dan pelajar adalah pejuang di medan mereka sendiri—medan ilmu pengetahuan.
Tak kalah powerful, hadis Rasulullah SAW yang beliau sampaikan:
مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu,maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang.” (HR. Tirmidzi)
Dengan kedua landasan ini, Bapak Yazid menegaskan bahwa para santri Al-Khozini yang gugur adalah “syuhada ilmu”—para pejuang yang wafat dalam jalan Allah.
Santri Zaman Now: Pejuang Ilmu di Dua Front
Dalam pesannya yang menyentuh, Bapak Yazid mengingatkan para siswi untuk bersyukur. “Bersyukurlah kalian masih diberi kesempatan menjadi santri. Banyak saudara-saudara kita yang ingin mondok tapi belum diberi kesempatan.”
Metafora yang beliau gunakan sangat relevan dengan konteks kekinian. “Yang di pondok seperti prajurit yang pulang ke markas besar yaitu Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif, sedangkan yang tinggal di rumah pulang ke markas kecil masing-masing. Tapi semuanya sama—sama pejuang ilmu.”
Inilah konsep yang brilliant! Di era di mana banyak anak muda merasa minder karena statusnya, Bapak Yazid justru mengangkat martabat setiap pelajar—baik yang mondok maupun tidak—sebagai pejuang ilmu.
Musuh Abadi: Kebodohan yang Harus Dihancurkan
Dengan suara lantang penuh semangat, Bapak Yazid menutup sambutannya dengan seruan yang menggugah:
“Selamat berjuang wahai anak-anakku! Kalian semua adalah pejuang ilmu. Raih kemenangan! Hancurkan musuh kalian! Dan musuh kalian adalah kebodohan.”
Inilah esensi dari pendidikan di MTsN 4 Denanyar Jombang. Bukan sekadar mengejar nilai tinggi, bukan sekadar mengejar kelulusan, tetapi membentuk karakter pejuang—pejuang yang berani melawan kebodohan dalam segala bentuknya.
Pendidikan Karakter melalui Tradisi Upacara
Upacara bendera di MTsN 4 Denanyar Jombang bukan sekadar ritual mingguan. Ini adalah bagian dari proses pembentukan karakter siswa yang terintegrasi. Melalui tradisi ini, nilai-nilai keimanan, kebangsaan, dan keilmuan dirajut menjadi satu.
Para siswi tidak hanya diajarkan untuk disiplin dalam barisan, tetapi juga untuk memiliki mental pejuang dalam menuntut ilmu. Mereka tidak hanya diajarkan menghormati bendera, tetapi juga menghormati ilmu pengetahuan.
Ini sejalan dengan visi madrasah yang tidak sekadar mencetak siswa cerdas akademik, tetapi juga berkarakter, berjiwa santri, dan berjiwa pejuang ilmu.
Relevansi dengan Generasi Z
Di era digital di mana informasi begitu melimpah, justru kebodohan mengambil bentuk baru—bukan karena kurangnya akses informasi, tetapi karena ketidakmampuan menyaring informasi. Generasi Z yang tumbuh dengan gawai di genggaman justru rentan terhadap kebodohan jenis baru: kebodohan intelektual yang terselubung kemudahan akses.
Pesan Bapak Yazid menjadi sangat relevan: menjadi pejuang ilmu berarti tidak hanya menyerap informasi, tetapi mampu mengolahnya menjadi pengetahuan yang bermanfaat. Tidak hanya pandai secara akademis, tetapi juga berakhlak mulia.
Semangat yang Terus Menyala
Upacara itu berakhir, namun semangatnya terus menyala. Para siswi kembali ke kelas dengan energi baru—bukan sekadar sebagai pelajar biasa, tetapi sebagai pejuang ilmu yang siap menghancurkan kebodohan.
Doa Bapak Yazid mengiringi langkah mereka: “Semoga Allah memudahkan langkah kita dalam menuntut ilmu dan memberi ilmu yang bermanfaat. Aamiin.”
Inilah MTsN 4 Denanyar Jombang—tempat di mana karakter pejuang ilmu dibentuk, di mana nasionalisme dan spiritualitas bersatu, dan di mana setiap siswa diajak untuk menjadi pelita yang menerangi kegelapan kebodohan.
0 Comments