Mencari Ketenangan Hati di Ruang Guru : Refleksi Seorang Kepala Madrasah tentang Kompas Moral dalam Pendidikan

by | Oct 12, 2025 | Artikel Pendidikan | 0 comments

Oleh: Sulthon Sulaiman
(Kepala MTsN 4 Denanyar Jombang)

Pagi itu, di sela-sela riuh rendah persiapan ekstrakurikuler siswa, ruang guru MTsN 4 Denanyar berubah menjadi ruang hening yang sarat makna. Suasana yang sama sekali berbeda terasa ketika Dr. KH. Sholahuddin Fathurrohman atau yang akrab disapa Gus Amang membuka lembaran Kitab Majālis As-Sāniyah karya Imam Nawawi. Tradisi Pengajian Ahad Pagi ini bukan sekadar ritual—ia adalah oase di tengah gurun kesibukan administratif dan target kurikulum.

Sebagai seorang kepala madrasah, saya menyaksikan langsung bagaimana para guru dan karyawan—dengan seragam olahraga maupun batik—duduk melingkar dengan wajah-wawas. Mereka bukan hanya pendengar, tetapi pencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pedagogis yang kerap menghantui: Apakah nilai yang saya berikan sudah adil? Apakah hukuman yang saya tegakkan sudah proporsional? Apakah nasihat saya kepada siswa berasal dari niat yang tulus?

Hadis yang Menjawab Kegelisahan Guru

Hadis ke-27 yang dikaji pagi itu terasa seperti jawaban yang telah lama dinanti. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah apa yang menenteramkan jiwa dan menenangkan hati, sedangkan dosa adalah apa yang menggelisahkan jiwa dan membuat dada bimbang, sekalipun manusia memberi fatwa padamu.” (HR. Muslim)

Dalam syarahnya, Gus Amang menegaskan: “Al-birru husnul khuluq — kebaikan sejati adalah akhlak yang baik. Kalimat ini menggema dalam sanubari saya sebagai pendidik. Betapa sering kita terjebak pada kuantitas amal tanpa memperhatikan kualitas akhlak di baliknya. Berapa banyak guru—dengan niat baik—memberikan tugas berlebihan kepada siswa, namun tanpa disadari justru mematikan semangat belajar mereka?

Konsep Birr dan Itsm dalam Praktik Pendidikan di MTsN 4 Jombang

Di MTsN 4 Denanyar, kami sedang berusaha menjadikan “Ketenangan Hati” sebagai kompas dalam mengambil keputusan pendidikan. Sebuah praktik baik yang kami kembangkan adalah “Sidang Hati Sebelum Sidang Komite”—setiap kebijakan yang akan diterapkan harus melalui uji ketenangan batin terlebih dahulu.

Contoh nyata terjadi ketika kami merumuskan sistem penilaian portofolio menggantikan ujian harian yang menekan. Beberapa guru awalnya ragu: “Apakah tidak terlalu lunak?” Tapi ketika kami merasakan ketenangan yang muncul dari keputusan ini—bahwa siswa akan belajar lebih bermakna tanpa tekanan berlebihan—kami yakin ini adalah birr (kebaikan) yang diajarkan Nabi.

Sebaliknya, pernah ada usulan memberikan sanksi berat kepada siswa yang sering bolos. Secara aturan mungkin benar, tetapi hati kami gelisah. Akhirnya kami memilih pendekatan dialog dan pemahaman. Hasilnya? Siswa tersebut justru berubah menjadi salah satu yang paling rajin setelah merasa dipahami bukan dihakimi.

Menyelami Hakikat Kebaikan dan Keburukan Bersama Gus Amang4
Guru yang Tenang Melahirkan Kelas yang Damai

Dalam praktik sehari-hari, konsep “Istafti Qalbak” (mintalah fatwa kepada hatimu) telah menjadi panduan etis bagi guru-guru kami. Seorang guru bercerita: “Saat akan memberi nilai ujian yang pas di batas KKM, hati saya terasa tidak tenang. Setelah dicek ulang, ternyata ada jawaban siswa yang deserve nilai lebih. Setelah diperbaiki, barulah hati ini plong.”

Pengalaman ini mengkonfirmasi apa yang disampaikan Gus Amang: “Hati yang bersih adalah penunjuk arah bagi seorang mukmin.” Dalam konteks pendidikan, hati yang tenang adalah fondasi dari kelas yang damai. Siswa mampu merasakan ketika gurunya datang dengan energi positif atau sebaliknya, datang dengan beban emosional yang rentan meledak.

Merawat Tradisi, Memelihara Nurani

Pengajian kitab klasik seperti Majālis As-Sāniyah di lingkungan madrasah negeri adalah upaya sadar kami untuk tidak kehilangan akar. Di era dimana pendidikan sering terjebak pada parameter materialistis—nilai UN, ranking, akreditasi—kami justru kembali kepada parameter paling primordial: ketenangan hati.

Seperti yang saya sampaikan dalam pengantar pengajian: “Guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga teladan akhlak. Maka yang menenangkan hati, itulah kebaikan sejati.”


Madrasah sebagai Taman Hati

Pengajian pagi itu berakhir pukul 08.20 WIB, namun resonansinya terus bergema. Gus Amang menutup dengan doa: “Semoga setiap langkah kita di madrasah berawal dari hati yang tenang dan berakhir dengan kebaikan yang diridhai Allah.”

Doa ini menjadi komitmen kami bersama. MTsN 4 Denanyar tidak ingin menjadi sekadar institusi pendidikan yang mencetak juara olimpiade, tetapi lebih penting dari itu: Menjadi taman dimana hati-hati belajar merasakan ketenangan yang menjadi tanda ridha Ilahi.

Karena sebagaimana diajarkan Nabi, kebaikan sejati bukanlah yang tampak hebat di mata manusia, tetapi yang menenteramkan jiwa. Dan dalam dunia pendidikan yang semakin kompleks, ketenangan hati mungkin justru menjadi revolusi paling radikal yang bisa kita tawarkan kepada generasi mendatang.

Penulis adalah Kepala MTsN 4 Denanyar Jombang, pencari ketenangan hati dalam setiap kebijakan pendidikan.

Author

Artikel ini telah dibaca:

Written by Sulthon Sulaiman

Related Posts

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *