Gerbang Pagi: Merajut Disiplin dan Cinta Ilmu di Hati Santri Milenial

by | Oct 9, 2025 | Artikel Pendidikan | 0 comments

Oleh: Sulthon Sulaiman, Kepala MTsN 4 Jombang

Pukul 06.15 WIB. Mentari pagi baru saja mulai menyapa, namun energi positif sudah menyelimuti gerbang MTsN 4 Denanyar Jombang. Inilah momen yang tidak pernah saya lewatkan: menyambut langsung setiap siswa dengan senyum, salam, dan sapa. Bagi kami, gerbang madrasah bukan sekadar pembatas fisik, melainkan sebuah portal nilai—tempat di mana karakter santri milenial mulai diukir, satu sapaan, satu senyuman pada satu waktu.

Tradisi “Gerbang Pagi” ini adalah jantung dari visi kami. Ia adalah strategi sederhana nan mendalam untuk membangun ikatan emosional (emotional connection) antara guru dan siswa. Di dunia yang kian individualistik, kehadiran fisik guru di pagi hari menjadi pesan nyata: “Kami ada untuk kalian, kami peduli.” Dari interaksi inilah lahir rasa aman, hormat, dan kepercayaan yang menjadi fondasi bagi segala bentuk pembelajaran.

Disiplin Bukan tentang Hukuman, Tapi Tanggung Jawab

Suatu pagi, suasana sedikit berbeda. Empat siswa putra datang terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul 07.00, sementara bel telah berbunyi sepuluh menit sebelumnya. Dua dari mereka mengaku sakit kaki, terbukti dengan sandal yang mereka kenakan. Apakah respons kami adalah marah atau menghakimi? Bukan.

Kami memilih untuk mendengar. Pendekatan dialogis menjadi kunci. Kami memberi ruang bagi mereka untuk bercerita. Namun, dalam filosofi kami, empati tidak berarti mengkompromikan prinsip. Pelanggaran tetaplah pelanggaran, dan kedisiplinan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Pertanyaannya adalah, bagaimana merespons pelanggaran itu dengan cara yang membangun, bukan menghancurkan?

“Punishment Edukatif”: Mengalihkan Kesalahan Menjogo Oase Ilmu

Alih-alih memberikan sanksi yang bersifat represif, kami memilih jalan yang berbeda. Keempat siswa tersebut kami beri tugas untuk menghafal Nadhoman Imrity—sebuah kitab kecil nan agung dalam khazanah ilmu nahwu (gramatikal Bahasa Arab).

Pilihan ini bukan tanpa alasan. Dalam dunia pesantren yang menjadi akar budaya kami, Imrity bukan sekadar kumpulan bait hafalan. Ia adalah mutiara hikmah yang mengajarkan ketelitian, kedisiplinan berpikir, dan yang terpenting, cinta pada ilmu. Setiap bait yang mereka hafal dan pahami akan menjadi pengingat abadi bahwa setiap konsekuensi dalam hidup harus dihadapi dengan kesungguhan dan kecerdasan.

“Kami ingin anak-anak memahami bahwa setiap pelanggaran harus disikapi dengan tanggung jawab, tapi juga dengan cara yang mendidik dan membangun. Nadzoman Imrity bukan sekadar teks Arab, tapi warisan ilmu yang mengajarkan ketelitian, kesungguhan, dan cinta terhadap ilmu,”

Dengan menghafal Imrity, kami tidak sekadar “Menghukum” mereka. Kami justru membukakan pintu bagi mereka untuk menyelami samudera ilmu. Kami mengajak mereka untuk naik kelas dari sekadar pelanggar aturan menjadi pencinta ilmu. Inilah esensi dari punishment edukatif: mengubah setback (kekalahan) menjadi setup (persiapan) untuk lompatan karakter yang lebih baik.

Santri Milenial: Tangguh, Beradab, dan Melek Digital

Visi kami di MTsN 4 Jombang jelas: membentuk santri milenial yang unggul. Bagi kami, generasi ini haruslah pribadi yang berhasil menyinergikan ketangguhan tradisi dengan kecakapan masa depan. Mereka harus santun dalam bersapa, tangguh dalam menghadapi tantangan, disiplin dalam mengatur waktu, namun juga kreatif, kritis, dan mampu berkolaborasi.

Karakter seperti ini tidak bisa dibentuk hanya melalui ceramah di dalam kelas. Ia ditempa dalam rutinitas pagi di gerbang madrasah, dalam keteladanan guru yang hadir lebih awal, dan dalam konsistensi antara ucapan dan tindakan.

“Kami ingin madrasah ini bukan hanya tempat belajar akademik, tetapi juga ruang tumbuh bagi karakter santri milenial — yang santun, tangguh, disiplin, tapi juga kreatif dan penuh semangat,”

Pagi di MTsN 4 Jombang adalah miniatur dari kehidupan yang lebih luas. Ia mengajarkan bahwa langkah pertama di gerbang madrasah adalah metafora dari langkah pertama menuju kedewasaan: penuh kesadaran, diiringi rasa hormat (ta’dzim), dan dibingkai dengan niat tulus untuk menuntut ilmu.

Dari gerbang inilah, kami memulai perjalanan panjang bersama para santri. Setiap pagi, kami tidak hanya menyambat anak-anak yang datang ke sekolah. Lebih dari itu, kami sedang menyambut calon-calon pemimpin masa depan yang berintegritas, berilmu, dan berakhlak mulia. Dan percayalah, dari balik gerbang ini, kami yakin, akan lahir generasi emas yang tidak pernah lupa pada adab, sekaligus tidak pernah berhenti untuk berkarya.

Author

Artikel ini telah dibaca:

Written by Sulthon Sulaiman

Related Posts

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *