Dzikir dan Diskusi: Melacak Jejak Walisongo dengan Metode Problem Based Learning di Kelas IX Q

by | Sep 11, 2025 | School News | 0 comments

MTsN 4 Denanyar Jombang– Suasana hening seketika pecah oleh lantunan merdu Surat Al-Waqi’ah yang dikumandangkan secara serempak dan kompak oleh siswa-siswa Kelas IX Q, Rabu (10/9/2025) pagi pukul 09.30 WIB. Seorang pengamat dari luar kelas mungkin akan menyangka sedang berlangsung pembelajaran Al-Qur’an Hadis. Namun, kenyataannya, itu adalah pembukaan dari mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang dipandu oleh guru pengampu, Ibu Nur Lailatul Fitriyah, S.Pd.I.

Sebelum menyelami kedalaman sejarah, Ibu Fitriyah, begitu ia disapa, memiliki tradisi yang telah membudaya di semua kelasnya: membiasakan membaca ayat suci Al-Qur’an sebelum materi pelajaran dimulai. Bagi dia, ritual ini bukan sekadar formalitas, tetapi fondasi untuk menciptakan suasana belajar yang penuh ketenangan dan keberkahan.

“Membaca Al-Qur’an bukan hanya ibadah biasa. Ia adalah sumber ketentraman hati, cahaya petunjuk, dan pembersih jiwa. Dengan memulainya, kami berharap ilmu yang dipelajari tidak hanya masuk ke akal, tetapi juga meresap ke dalam hati,” ujarnya, merujuk pada banyaknya manfaat yang didapat, mulai dari pahala yang berlipat, syafaat di hari akhir, hingga peningkatan ilmu dan hikmah.

WhatsApp Image 2025 09 10 at 13.00.41
Melacak Jejak Walisongan dengan Cara Modern

Setelah hati dan pikiran disiapkan dengan dzikir, siswa kemudian diajak untuk meneropong masa lalu dengan metode yang justru sangat modern: Problem Based Learning (PBL). Materi hari itu adalah peran monumental Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara.

Berbeda dengan ceramah satu arah, kelas berubah menjadi laboratorium sejarah yang hidup. Guru berperan sebagai fasilitator, sementara siswa menjadi detektif yang aktif memecahkan masalah.

“Kami memulai dengan orientasi masalah. Misalnya, ‘Bagaimana strategi Walisongo menyebarkan Islam tanpa kekerasan di tengah masyarakat yang sudah memiliki keyakinan dan budaya kuat?” jelas Ibu Fitriyah.

Siswa kemudian dibagi ke dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok memilih fokus kajian yang berbeda; ada yang menelusuri metode dakwah kultural Sunan Kalijaga melalui wayang, ada yang mendalami pendekatan seni Sunan Bonang dengan tembangnya, dan ada yang menganalisis strategi ekonomi Sunan Kalijaga.

Proses pembelajaran pun berlangsung dinamis. Mereka mengumpulkan data dari berbagai sumber, berdiskusi, dan akhirnya mempresentasikan hasil analisis mereka dalam bentuk presentasi dan diskusi kelas. Metode PBL ini dinilai sangat cocok untuk materi Walisongo karena mendorong siswa tidak hanya menghafal nama dan tahun, tetapi memahami konteks, strategi, dan relevansinya untuk konteks kekinian.

“Kami jadi paham bahwa dakwah itu harus cerdas dan beradaptasi dengan budaya, bukan menghakimi. Seperti Walisongo, kita harus bisa menyampaikan nilai-nilai Islam dengan cara yang damai dan diterima masyarakat,” tutur salah seorang siswa seusai melakukan presentasi.

Kombinasi antara pembiasaan religius yang menenteramkan dan metode pembelajaran yang menantang ini menciptakan pengalaman belajar yang utuh. Siswa tidak hanya menjadi cerdas secara intelektual, tetapi juga terkoneksi secara spiritual dengan nilai-nilai yang mereka pelajari dari sejarah. Sebuah teladan dari masa lalu yang berhasil diurai dengan cara-cara masa kini, membentuk generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga berakhlak mulia.

By : Solomon

Author

Artikel ini telah dibaca:

Written by Sulthon Sulaiman

Related Posts

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *